Aktivitas komunikasi seharusnya mendorong kecakapan manusia untuk berpikir secara logis, dan tujuan dari semua komunikasi politik seharusnya adalah untuk membentuk informed electorate. Jika para pemilih bermaksud membuat pilihan rasional tentang para pemimpin dan isu-isu kebijakan, mereka harus memiliki akses kepada informasi yang benar dan akurat, tidak ambigu, tidak diwarnai emosi, yang dengan demikian dapat memperkuat proses pembuatan keputusan.
Dalam kaitan itu, pemanfaatan televisi sebagai media kampanye politik dewasa ini semakin meningkat intensitasnya. Hal ini tidak mengherankan karena televisi mampu menyajikan gambaran visual dari para tokoh yang mengiklankan dirinya di televisi. Gambaran visual yang muncul di televisi tersebut mampu membuat pencitraan seorang tokoh sebagaimana yang diharapkan oleh pihak yang membuat iklan politik di televisi tersebut.
Namun demikian, boleh jadi pencitraan terhadap seorang kandidat yang dilakukan melalui iklan politik di media televisi bukanlah citra yang sesungguhnya dari kandidat tersebut, namun merupakan citra yang direkayasa atau citra artifisial yang dilekatkan kepada sang kandidat. Di sinilah letak perdebatan sebuah iklan politik yang ditayangkan televisi: iklan politik di televisi, kendati merupakan ekspresi kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan yang sepenuhnya dijamin oleh undang-undang, tetap harus memenuhi norma-norma etis sebagai bagian dari sistem demokrasi politik yang lebih luas.
Masalah pencitraan seorang tokoh politik hanya merupakan bagian dari masalah-masalah etis yang dapat muncul dalam iklan politik di televisi. Secara umum, masalah-masalah etis dalam iklan politik di televisi yang harus diperhitungkan adalah berupa:
[1] akses kepada pemilih ditentukan oleh besarnya dana yang dimiliki;
[2] pesan tidak “mencerdaskan” tetapi lebih dialamatkan kepada perasaan;
[3] masalah yang diangkat terlampau disederhanakan;
[4] banyak informasi yang relevan dan penting disembunyikan;
[5] dapat terjadi manipulasi teknologis; serta
[6] dapat muncul iklan negatif. Mari kita tinjau hal-hal ini satu persatu.
Akses Kepada Pemilih Ditentukan Oleh Besarnya Dana yang Dimiliki
Iklan politik berfungsi untuk memberi pemilih suatu sudut pandang. Sudut pandang partai politik atau seorang kandidat harus disampaikan melalui media yang merupakan akses untuk menjangkau para pemilih, khususnya televisi. Iklan elektronik memberikan andil yang besar dalam komersialiasi politik dalam rangka menjangkau dan mempengaruhi sikap para pemilih tersebut.
Di Amerika Serikat, pada tahun 1996, kandidat presiden Clinton dan Dole menghabiskan total biaya iklan hampir sebesar 200 miliar dollar AS untuk iklan TV selama kampanye kepresidenan. Rata-rata pemilihan Senator AS di tahun 1996 menghabiskan 4,3 miliar dollar AS, umumnya untuk iklan elektronik. Total biaya iklan elektronik dalam kampanye politik 1996 mencapai 400 miliar dollar AS. Survei baru-baru ini menyimpulkan bahwa 88,9 persen calon Senat dan 87,2 persen calon Kongres berkampanye melalui TV daripada melalui media lainnya.
Di balik fakta-fakta ini, tidaklah jelas mengapa sebagian orang menganggap penggunaan uang dalam berkomunikasi dengan pemilih sebagai tidak etis. Di tahun 1970-an, AS menerapkan secara ketat batas sumbangan untuk keperluan kampanye dan mengharuskan pelaporan dan transparansi atas sumber dan penggunaan dana kampanye tersebut. Menurut Mahkamah Agung AS, upaya membatasi pengeluaran untuk iklan adalah termasuk pelanggaran terhadap hak kebebasan berbicara, kecuali jika pengeluaran tersebut berkaitan dengan keuangan publik.
Namun demikian, jika di Amerika Serikat membatasi pengeluaran iklan adalah termasuk pelanggaran terhadap Amandemen Pertama yang menjamin hak kebebasan berbicara, maka di Indonesia mungkin kondisi dan situasinya akan lain. Dalam kondisi di mana kemiskinan yang menurut data Bank Dunia masih menghinggapi 45 persen dari total penduduk Indonesia, apakah etis menghamburkan dana puluhan hingga ratusan miliaran rupiah untuk meraih jabatan publik seperti presiden dan gubernur? Terlebih lagi adanya kenyataan bahwa belum tentu pasangan kandidat yang mengeluarkan belanja iklan politik yang paling banyak akan memenangkan pemilihan tersebut.
Data pada Tabel 1 memperlihatkan besaran biaya kampanye 5 [lima] pasang kandidat presiden pada pemilu 2004. Mega-Muzadi mengeluarkan biaya kampanye Rp 1 trilyun dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan per pemilih adalah Rp 23.110. Sedang pasangan SBY-Kalla menghabiskan biaya kampanye Rp 500 miliar dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan per pemilih adalah Rp 7.242. Memang jika dilihat dari rata-rata biaya yang dikeluarkan per pemilih, terlihat besaran biaya kampanye tersebut relatif kecil saja. Namun jika dilihat secara total, maka biaya kampanye sebesar Rp 1 trilyun yang dikeluarkan pasangan Mega-Muzadi adalah sangat signifikan jika akan digunakan untuk menyubsidi biaya pendidikan anak-anak miskin. Apalagi pada kenyataanya, pasangan Mega-Muzadi, sebagai pasangan yang mengeluarkan belanja kampanye paling besar, tidak menjadi pemenang pilpres 2004. Artinya dengan perhitungan ekonomis, dapat dikatakan bahwa biaya kampanye sebesar Rp 1 trilyun tersebut adalah kemubaziran absolut, karena tidak menghasilkan manfaat apapun.
Masalahnya adalah darimana biaya kampanye yang luar biasa besarnya itu datang? Sementara kekayaan pribadi Megawati-Taufik Kiemas seperti pernah dilansir media ketika ia menjabat sebagai wakil presiden di era Presiden Abdurahman Wahid, hanya sebesar Rp 50 milyar hingga Rp 60 milyaran saja. Namun paling tidak kita bisa menduga bahwa aliran dana kampanye mungkin akan berasal dari para pengusaha yang akan berusaha memberi andil bagi kemenangan kandidat tertentu, yang pada gilirannya jika pasangan kandidat yang didukung itu menang, tentu akan memberi kemudahan bagi pengusaha dalam hal regulasi bisnis.
Yang dikuatirkan adalah, dalam upaya menggalang dana kampanye yang sedemikian besarnya itu, ada potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kita masih ingat bagaimana Rokhmin Dahuri selaku Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri harus berurusan dengan pihak berwajib karena ada sebagian dana nonbujeter di departemennya yang mengalir ke pasangan kandidat presiden pada pilpres 2004 yang lalu. Selain itu, bisa pula terjadi bahwa sumbangan itu berasal dari pihak asing melalui perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesia dan dana-dana yang berasal dari aktivitas pencucian uang [money laundering].
Memang, pasal 131 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu mengatur pembatasan sumbangan untuk keperluan kampanye kandidat. Pasal ini mengatur maksimal dana kampanye yang berasal dari perseorangan adalah Rp 1 milyar dan dana kampanye yang boleh diberikan oleh kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah maksimal Rp 5 milyar. Pemberi sumbangan juga harus menyebutkan identitas yang jelas. Pada pasal 139, diatur bahwa dana kampanye tidak boleh berasal dari pihak asing [Harian Seputar Indonesia, edisi Minggu, 4 Mei 2008].
Namun UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu tersebut tetap tidak mengatur besaran maksimal total seluruh dana kampanye yang boleh dikeluarkan oleh kandidat atau partai politik. Oleh karena itu di masa depan, kita masih akan melihat jor-joran biaya kampanye yang nilai totalnya untuk seluruh peserta pemilu [kandidat dan parpol] akan mencapai triliunan rupiah. Kita hanya bisa mengharapkan bahwa dana-dana kampanye tersebut tidak berasal dari aktivitas illegal. Untuk itu lembaga-lembaga formal seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan [PPATK], Badan Pengawas Pemilu, KPU, Indonesian Corruption Watch, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran [Fitra] akan melakukan pengawasan ketat terkait dengan penggunaan dana kampanye pada pemilu 2009 nanti.
Kita pun hanya bisa mengharapkan kesadaran pihak-pihak yang melakukan kampanye untuk menghitung ulang antara besaran biaya kampanye yang akan dikeluarkan dengan efektifitas atau manfaat yang akan diperoleh melalui kampanye. Apakah etis menghamburkan biaya sedemikian besarnya, di tengah-tengah kondisi kemiskinan bangsa yang masih meruyak di sana-sini?
Pesan Tidak “Mencerdaskan” Tetapi Lebih Dialamatkan Kepada Perasaan
Iklan politik sering dikritik sebagai iklan yang terlalu berfokus pada citra daripada isu. Berkaitan dengan ini, suatu citra secara inheren dianggap emosional jika dibandingkan dengan isu yang dianggap berfokus pada logika. Pengambilan keputusan secara rasional oleh para pemilih diasumsikan berkaitan dengan logika dan oleh karena itu didasarkan pada informasi yang berbasis isu.
Citra dan isu bukanlah konsep dikotomis namun merupakan jalinan yang tidak terpisahkan dalam iklan politik. Citra berkaitan dengan kepribadian kandidat, sedangkan isu merujuk kepada informasi yang berkaitan dengan posisi kebijakan atas masalah-masalah publik. Konsultan politik percaya bahwa cara terbaik untuk menarik pemilih adalah melalui penggunaan konstruksi emosi dalam iklan.
Apakah salah bagi pemilih untuk mempertimbangkan informasi citra pada saat membuat keputusan memilih? Jelas bahwa tidak semua iklan politik berfokus pada isu. Beberapa iklan politik mencoba membangkitkan respon emosional pada informasi tentang kepribadian atau citra kandidat. Walau hal ini bukan merupakan model pemilih yang rasional, adalah masuk akal menilai citra kandidat sebagai suatu cara pengambilan keputusan oleh pemilih.
Sebagaimana isu-isu emosional secara umum, sebagian kecil khalayak menilai kandidat berdasarkan suku, jenis kelamin, etnis, kebiasaan pribadi dan karakter kandidat. Kualifikasi kandidat seperti jujur, bermoral, dan berkompeten sering berkaitan dengan kemampuannya untuk memerintah. Apakah tidak etis jika kita mempertimbangkan etika kandidat dalam pembuatan keputusan memilih?
Iklan politik yang dibuat di televisi hendaknya memuat liputan yang seimbang antara iklan yang berorientasi citra dengan iklan yang berorientasi pada isu-isu kebijakan yang hendak diusung kandidat atau partai politik. Sebagai contoh, jika SBY sebagai calon incumbent akan maju lagi dalam pemilihan presiden pada tahun 2009, dan hendak dicitrakan sebagai sosok presiden yang membela kepentingan rakyat miskin, maka seyogianya gambaran atas citra tersebut menyertakan pula daftar rincian prestasi serta kinerja dalam membela kepentingan rakyat miskin selama ia menjabat presiden, sehingga citra yang akan dibentuk memang sesuai dengan apa yang telah dilakukan SBY untuk mengangkat taraf hidup rakyat miskin.
Di lain pihak, jika Megawati Soekarnoputri sebagai salah satu calon presiden pada pemilu 2009, juga ingin mencitrakan dirinya sebagai pembela kesejahteraan wong cilik, maka citra yang akan dibentuk tersebut hendaknya juga menyertakan rincian kinerja atas apa yang telah dilakukannya untuk mengangkat kesejahteraan wong cilik pada era dirinya saat menjabat sebagai presiden. Namun jika daftar rincian itu ternyata tidak ada, maka ia bisa menggantikan-nya dengan daftar program kerja yang akan dilakukannya untuk mengangkat kesejahteraan wong cilik seperti yang juga dikampanyekan oleh partainya, PDIP.
Ini berarti, penonjolan citra seorang kandidat, tidak akan menjadi masalah etis apabila citra yang akan dijadikan tema iklan atau kampanye politik seorang kandidat atau partai politik tersebut dikaitkan dengan kinerja yang benar-benar telah dilakukan dan tidak hanya berupa slogan kosong. Namun jika hanya berupa jargon kosong, yang dilakukan semata demi menarik perhatian publik, maka akan ada pihak pesaing yang akan melakukan kampanye serangan-balik untuk membuktikan bahwa jargon yang diusung oleh kandidat atau partai tertentu adalah klaim palsu.
Demikian pula apa yang dikampanyekan Wiranto akhir-akhir ini di berbagai media, tentang pemberantasan kemiskinan yang diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kampanye tersebut juga berupaya menonjolkan citra Wiranto yang peduli dengan masalah kemiskinan. Ini akan menjadi masalah etis karena publik akan skeptis terhadap sosok Wiranto. Sekalipun kampanye Wiranto berorientasi kepada isu kemiskinan, namun apakah ada catatan aktivitas Wiranto sebelumnya yang benar-benar membela kepentingan rakyat miskin? Artinya, untuk mencitrakan diri sebagai tokoh yang peduli kemiskinan, Wiranto harus bekerja keras dan membuktikan ia peduli, dan memang ia harus melakukan etika kongkrit yang nyata terhadap apa yang ia maksudkan. Sekadar mengunjungi orang-orang miskin dan memberi secuil perhatian dan bingkisan bukan berarti ia akan menjelma menjadi tokoh pembela orang miskin seperti yang ia harapkan.
Masalah yang Diangkat Terlampau Disederhanakan
Kritik atas iklan politik sering didasarkan pada fakta bahwa iklan politik cenderung terlalu menyederhanakan isu politik, merendahkan dan meremehkan proses demokrasi. Isu dalam iklan politik harus mencakup pernyataan dan pembuktian, sementara iklan politik hanya berisi pernyataan saja. Durasi iklan politik yang singkat seharusnya tidak menghalangi komunikasi yang bersifat informatif. Panjangnya iklan komersial tidaklah berhubungan dengan nilai-nilai demokrasi yang baik. Iklan politik dapat menyampaikan pesan yang benar atau palsu selama 10 detik atau 30 menit. Dalam iklan politik, politisi dapat langsung ke pokok masalah dalam 30 detik, atau justru bertele-tele di seputar masalah dalam 30 menit.
Menyederhanakan masalah dengan hanya mengangkat tema tertentu tanpa menyertakan pembuktian bisa tergelincir kepada pernyataan palsu yang tidak berdasar. Semua pernyataan yang dilansir seorang kandidat atau partai politik harus mempunyai bukti-bukti yang kuat. Sebagai contoh, jika seorang kandidat presiden di tahun 2009 dalam iklan dan kampanye politiknya menyatakan bahwa SBY adalah presiden yang gagal menekan angka kemiskinan penduduk Indonesia, maka ia harus siap dengan pembuktian berupa data-data statistik yang menjelaskan posisi angka kemiskinan sebelum dan sesudah SBY menjabat sebagai presiden. Dengan demikian publik akan merujuk data-data dalam iklan atau kampanye politik tersebut sebagai cara untuk menilai kinerja Presiden SBY.
Di masa kampanye, dimana semua kandidat dan partai politik berlomba membuat pernyataan dan janji-janji politik, publik akan melakukan penilaian terhadap kebenaran pernyataan yang hanya merupakan retorika dan bahkan hanya merupakan klaim palsu semata dan mana pernyataan yang memberikan pendidikan politik dan informasi yang dapat dipercaya. Daripada menyampaikan sekian banyak program kebijakan yang beragam, tayangan iklan politik di televisi yang biasanya berdurasi singkat, seyogianya dimanfaatkan untuk menyampaikan satu buah program kebijakan saja.
Banyak Informasi yang Relevan dan Penting Disembunyikan
Sejauh mana sumber harus mengungkapkan informasi kepada khalayak? Hal ini akan berkaitan dengan [1] pengungkapan sumber komunikasi, [2] pemberian informasi yang memadai dan lengkap, [3] ambiguitas dan inkonsistensi dari pesan-pesan politik.
Kemampuan menentukan sumber otentik suatu pesan komunikasi adalah aspek penting dalam mengevaluasi nilai dan objektivitas suatu informasi. Menyembunyikan sumber suatu informasi dalam iklan politik, biasanya dijadikan teknik untuk menyerang kandidat lawan tanpa keharusan bertanggung jawab atas serangan yang telah dilakukan.
Problema etis selanjutnya adalah penilaian tentang apakah seorang komunikator harus menyampaikan informasi yang komplet atau bahkan informasi yang tidak menguntungkan tentang posisinya atau posisi pesaingnya. Sebagai contoh, kandidat menyatakan setuju terhadap aborsi namun gagal menyebutkan syarat-syarat bahwa dia menyetujui aborsi hanya dalam kasus perkosaan, perzinahan dengan keluarga sendiri atau membahayakan jiwa sang ibu. Contoh lain, misalnya seorang kandidat mengeluarkan informasi keuangan [partai atau pribadi] untuk memenuhi aturan yang berlaku, namun tidak menyertakan rincian dari mana sumber-sumber pendapatan tersebut.
Akhirnya, banyak komunikator mengambil manfaat dari pesan-pesan yang disampaikan secara samar [vague] atau bersifat mendua [ambiguity]. Di mana mereka membiarkan khalayak secara bebas “mendengar apa yang ingin mereka dengar” dan komunikator bebas mengklaim bahwa telah terjadi salah pengertian atau salah penafsiran jika kemudian mereka dikonfrontir. Pernyataan ambigu yang disengaja biasanya dinilai tidak etis dalam situasi di mana penyampaian informasi secara akurat menjadi suatu tujuan.
Dapat Terjadi Manipulasi Teknologis
Keprihatinan terhadap penggunaan teknologi untuk menciptakan tampilan palsu atau menyesatkan telah menjadi problem etis bagi iklan politik di media massa. Di media cetak, foto-foto diambil dari berbagai sisi, dipotong dengan berbagai cara, atau dihasilkan dari pemalsuan yang disengaja dalam upaya menciptakan tampilan palsu kepada pemilih.
Sedang di media televisi, tipuan teknologi digunakan dalam teknik penyuntingan, efek-efek khusus, dramatisasi visual dan teknik pengubahan dengan komputer. Dengan tipuan teknologi, citra visual seorang kandidat dapat diubah. Teknik-teknik ini menghalangi pemilih untuk membuat keputusan memilih secara rasional. Ketiga teknologi televisi di atas [editing, special effects, dramatization] dipandang sebagai teknik yang secara etika bergantung kepada sifat penggunaannya, niat dari pelakunya, dan tingkat misperception serta kerugian yang ditimbulkannya.
Seberapa besar problema distorsi teknologi dalam iklan politik? Di Amerika Serikat, sebanyak 15 persen iklan politik sejak 1952 hingga 1992 mengandung beberapa tipe distorsi teknologi yang dapat dicurigai bermasalah secara etis. Lalu, 42 persen dari iklan kampanye presiden dan 43 persen pada kampanye 1996 berisi distorsi seperti itu. Distorsi terutama terjadi dalam iklan-iklan negatif. Penelitian menunjukkan bahwa distorsi seperti itu akan memperkuat citra kandidat yang mensponsori iklan semacam itu dan meningkatkan peluang bahwa para pemilih akan memilihnya dan merugikan pihak lawan yang citranya tercoreng akibat iklan negatif tersebut.
Dapat Muncul Iklan Negatif
Tak ada definisi tentang iklan negatif yang diterima secara universal, namun sebagian pihak setuju bahwa iklan negatif pada dasarnya berfokus pada persaingan, bukan berfokus pada kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, bukan pada isu atau pada sikap politik/kebijakan.
Bagaimana pun, jika tujuan kampanye adalah untuk membentuk pemilih yang berpengetahuan, maka kampanye harus berlandaskan kebenaran. Sebagian besar konsultan politik mungkin benar ketika mereka memandang iklan negatif sebagai format sah bagi informasi yang ditujukan kepada pemilih, suatu cara pemberian informasi kepada publik tentang posisi atau karakter dari pesaing. Konsultan sering menamakan iklan seperti ini sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.
Banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambilan keputusan. Iklan seperti itu juga lebih efektif, iklan negatif yang berfokus pada isu-isu akan lebih efektif daripada yang berfokus pada serangan terhadap individu [citra]. Oleh karena itu, apa salahnya jika kita menyajikan kepada pemilih suatu informasi yang berguna. Iklan politik, apakah bersifat positif atau negatif, mungkin benar dan mungkin pula salah, etis atau tidak etis, akan dinilai berdasarkan quality of argument dan bukan berdasarkan mode of the argumentation.” Argumen lain yang menonjol dalam menyikapi serangan iklan negatif adalah keprihatinan bahwa pemilih tidak mengetahui siapa yang sebetulnya mensponsori suatu iklan negatif dan oleh karena itu tidak juga tahu siapa yang harus disalahkan jika mereka tidak menyukai sentimen atau gaya iklan tersebut.
Akhirnya, dalam kaitan dengan iklan negatif, terdapat suatu keluhan bahwa kampanye negatif dan iklan negatif menurunkan tingkat kehadiran pemilih di TPS. Alasannya adalah, ketika khalayak tidak menyukai suatu kampanye negatif, maka mereka akan tidak acuh terhadap proses pemilihan, lalu mereka memilih untuk tidak memberikan suaranya sama sekali.
Terdapat beberapa bukti empiris yang mendukung hal ini. Penelitian menunjukkan bahwa iklan negatif akan mengurangi tingkat kehadiran pemilih kendati persentasenya kecil. Juga terdapat fakta bahwa eksposur terhadap iklan politik [negatif atau positif] tampaknya akan meningkatkan tingkat sinisme pemilih dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Namun terdapat sisi lain atas kontroversi ini, ada kemungkinan bahwa kampanye negatif merangsang ketertarikan pemilih terhadap kampanye dan justru akan meningkatkan tingkat kehadiran pemilih.
Dalam pemilu 1999, tidak ada kandidat yang mendapat serangan iklan dan kampanye negatif paling banyak kecuali Megawati Soekarnoputri. Ia digambarkan sebagai sosok yang hanya mengandalkan karisma bapaknya, Bung Karno. Ia juga dianggap tidak memiliki kecerdasan untuk menjadi presiden karena faktanya ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan sarjananya serta ia juga berkarakter pendiam dan sulit diwawancarai. Partainya, PDIP, dianggap terlalu banyak mengakomodasi caleg yang berlatar belakang non-muslim. Ia juga diserang oleh muslim fanatik yang menganggap perempuan tidak layak menjadi kepala negara.
Ketika akhirnya PDIP keluar sebagai partai pemenang pemilu 1999, ia pun tidak bisa menjadi presiden karena dihadang oleh poros tengah yang dipimpin Amien Rais sebagai Ketua MPR hasil pemilu 1999. Abdurahman Wahid lah yang seolah mendapat wangsit dari langit justru menjadi Presiden RI. Fakta-fakta ini menjadi pembuktian bahwa sekalipun jelas tidak etis, kampanye negatif yang berbasiskan fakta dan isu sangat signifikan dalam membentuk opini publik terhadap isu tertentu. Publik yang telah meyakini kebenaran isu yang diangkat dalam sebuah kampanye negatif akan memberikan suaranya berdasarkan isu tersebut.
Disinilah letak ironisnya suatu iklan dan kampanye negatif. Sekalipun ia berkonotasi tidak etis, namun pada kenyataannya, iklan negatif yang berfokus pada isu dan berlandaskan pada fakta-fakta justru memberi publik informasi tentang sisi negatif seorang kandidat atau partai. Semakin iklan atau kampanye politik yang bersifat negatif itu berlandaskan fakta-fakta yang dapat diverifikasi kebenarannya, maka semakin ampuh ia dalam mendiskreditkan kandidat atau partai tertentu.
Saran Pencegahan dan Sanksi Hukuman
Untuk menjamin bahwa semua proses kampanye dan iklan politik di semua media massa, memenuhi moralitas dan etika komunikasi politik, beberapa saran perbaikan yang perlu dilakukan tanpa membahayakan hak atas kebebasan berpendapat di Indonesia, adalah sbb:
Perlu dibentuk Undang-Undang Tentang Larangan Melakukan Praktik Kampanye yang Tidak Etis, sehingga kandidat dan partai politik akan memiliki cara legal yang jelas untuk pemulihan nama baiknya. Aturan itu harus mencakup hukuman berat bagi pelanggarnya dan mengizinkan penghentian tayang iklan yang tidak etis. Selain itu, perlu pula dibentuk pengadilan khusus selama periode kampanye dengan prosedur ringkas dan cepat sehingga kandidat dapat berperkara dengan cepat pula.
Semua bentuk kampanye dan iklan politik harus mengindahkan moralitas dan etika komunikasi politik. Oleh karena itu, semua materi kampanye dan iklan politik yang akan ditayangkan dan diterbitkan di media massa harus bebas dari semua bentuk praktik kampanye dan iklan yang tidak etis. Dewan Redaksi media massa harus menggunakan semua kecakapan dan pengetahuannya serta selalu merujuk kepada Undang-Undang dalam memastikan materi kampanye dan iklan politik yang akan diterbitkan tidak bermasalah secara etis.
Mendekati akhir acara kampanye di media penyiaran, perlu disediakan waktu 5 atau 10 menit yang memberi kesempatan bagi kandidat untuk berkomunikasi dengan pemilih dalam rangka affirmasi, menyanggah, atau melakukan pembelaan diri. Cara ini dimasukkan sebagai acara sisipan yang akan memperkuat kesempatan pemilih mendapatkan informasi dan menjamin tanggapan dari kandidat yang diserang oleh iklan negatif untuk membela diri.
Sebuah Komisi Kampanye Nasional perlu dibentuk untuk mendengarkan keluhan tentang pelanggaran etik dalam kampanye. Komisi ini bertugas menyebarkan kode etik dalam kampanye dan mendengarkan keluhan tentang pelanggaran etik. Kode etik tersebut mencakup larangan terhadap klaim iklan yang tidak benar, bukti-bukti atas klaim yang tidak memadai, pemutarbalikan, himbauan yang tidak masuk akal dan emosional, dukungan yang tidak benar, dan semua bentuk pelanggaran kampanye yang tidak etis lainnya. Dengan dukungan media untuk mempublikasikan pelanggaran tersebut diyakini akan menjadi daya tangkal yang ampuh. Selain itu, komisi tersebut dapat memberikan beberapa pemulihan legal berupa: denda dan hukuman, anggaran untuk publikasi atas pelanggaran, serta kewenangan untuk melakukan iklan perbaikan, dll.
Bacaan: “Political Communication Ethics: An Oxymoron?” Edited by Robert E. Denton, Jr, NewYork: Praeger Publisher, 1991, p.147-177.
Diposting sebagai persyaratan untuk memenuhi sebagian persyaratan mata kuliah ‘Etika Komunikasi Politik’ pada Program Pasca Sarjana FISIP Jurusan Komunikasi Politik, Universitas Indonesia, semester genap tahun 2008, asuhan Prof.DR. Alois A. Nugroho.
Disusun oleh Topan R. Hasanuddin NPM : 0706185761
Tidak ada komentar:
Posting Komentar