Bedanya menerima SDM yang berkualitas dengan yang tidak berkualitas


Dalam blog ini, sebelumnya telah saya up load tentang topic mengapa atau alasan apa karyawan itu harus mutasi. Bagi perusahaan alasan yang paling mumpuni dan thok cer dalam menjawab mengapa karyawan harus dilakukan mutasi adalah berdasarkan kebutuhan perusahaan. Padahal kebutuhan perusahaan harus didasarkan pada beban kerja dalam unit kerja tertentu dibandingkan dengan kemampuan SDM untuk menyelesaikannya, sehingga bisa jadi terdapat dua unit kerja dengan tingkat pengukuran beban kerja yang sama (misalnya produksi yang dihasilkan sama, kualitas outputnya juga sama, biaya untuk menyelesaikannya juga sama, perlengkapannya juga sama) namun diselesaikan dengan jumlah SDM yang berbeda misalnya di unit kerja A diselesaikan dengan 7 orang sedang di unit kerja B diselesaikan dengan 9 orang. Dari situ akan jelas akan terlihat antara SDM yang berkualitas dengan SDM yang tidak berkualitas, semua sepakat bahwa semakin sedikit orang dengan output yang sama pasti memilih semakin sedikit SDM yang digunakan maka SDM (sumber daya manusianya) yang lebih berkualitas. Dilemanya terdapat dua ciri-ciri seorang manajer jika mendapat SDM yang tidak berkualitas. Jika seorang Manajer mendapat SDM atau anak buah yang berkualitas hampir dapat dipastikan sedikit mereka tidak akan protes, namun jika ditempatkan SDM yang kurang berkualitas ada 2 reaksi :

1. Manajer (atasan) bersikap diam terhadap bagian SDM yang menempatkan karena sadar bawah di perusahaan masih terdapat SDM yang kurang berkualitas sehingga hal itu menjadi tugasnya untuk melakukan pembinaan terhadap SDM yang kurang berkualitas tadi dengan memberikan banyak contoh dan arahan. Manajer seperti inilah yang saya nilai masih jarang
2. Pada umumnya jika ditempatkan SDM yang kurang berkualitas maka cenderung terjadi penolakan yang sering protes ke SDM, minta tambahan tenaga lagi dan menganggap SDM yang tidak berkualitas hanya sebagai pupuk bawang saja, tanpa adanya usaha untuk melakukan pembinaan dan mengoptimalkan.

Anda pilih yang mana?

Comfort Zone atau Zona Nyaman


Pada dasarnya manusia ingin hak-hak dan privasinya yang mungkin selama ini menjadi kebiasaan dalam dirinya tidak ingin terganggu. Hal tersebut biasanya sangat wajar mengingat memang sebagi fitrahnya manusia tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian, namun dari hasil kebiasaan-kebiasaan itu dapat diambil suatu pelajaran dan kadang dijadikan prediksi atau perencanaan di masa mendatang. Sering saya menghadapi orang cenderung kurang optimis untuk menghadapi masa perubahan karena takut kecewa jika tidak sesuai dengan yang dia inginkan atau tidak sesuai dengan yang direncanakan.

Hal ini adalah salah satu contoh sharing dibidang yang saya tangani. Saat ini di Perum Pegadaian sangat gencar membuka banyak unit atau outlet sehingga unit yang telah siap harus diisi tenaga-tenaga yang siap.

Mengingat Pegadaian bergerak dibidang jasa gadai maka tentunya untuk mengisi unit kerja yang baru harus dipilih orang-orang atau yang mampu dan berpengalaman. Di beberapa cabang yang sudah besar pada umumnya terdapat beberapa tenaga yang dianggap berpengalaman tersebut, jumlahnya ada yang 2 atau 3 orang penaksir, dan selaku karyawan di bagian SDM yang harus menempatkan orang-orang tersebut terkadang mengalami kendala. Pada umunya para Manajer Cabang yang menjadi atasan dari tenaga yang dianggap berpengalaman tersebut keberatan jika bawahannya dipindahkan ke unit yang baru tadi mengingat selama ini jika terdapat penaksir tersebut beban kerjanya dapat diatasi dengan baik.
Dalam benak Manajer Cabang barangkali terdapat pemikiran melepaskan penaksirnya maka resikonya adalah :

1.Manajer Cabang harus melakukan pembinaan terhadap pegawai lain yang relative baru dan itu dipastikan akan lebih capek dan perlu waktu yang cukup lama.
2.Manajer Cabang harus terjun langsung dan dipastikan lebih sibuk yang mengakibatkan kenyamanan bekerja atau tekanan dalam bekerja semakin meningkat.
3.Suasana comfort zone atau zona nyaman membuat seseorang riskan dalam menghadapi perubahan.

Kemungkinan besar bahwa penolakan-penolakan terhadap perubahan ternyata adalah seseorang pada titik tertentu telah mengalami comfort zone atau zona nyaman. Karena telah nyaman, tenang, aman dan tenteram dalam bekerja maka dia akan sulit untuk dirubah. Sikap yang lainnya penyebab dari penolakan terhadap perubahan adalah pada prinsip kurang suka terhadap tantangan hal itu ditunjukkan dengan jika diberikan beban kerja yang lebih maka cenderung akan mengeluh, protes terhadap suasana akan perubahan dan menunjukkan kurang optimis.

Mudah-mudahan hal ini menjadi pengingat terhadap penulis sendiri dan marilah hadapi tantangan di masa depan, meskipun kita semua dalam suasana zona nyaman tapi persiapkan diri dengan baik untuk menghadapi perubahan-perubahan di masa depan, karena salah satu yang tidak akan berubahan dalam dunia ini adalah perubahan itu sendiri.