Best Story Chrisye (Krismansyah Rahadi) - oleh Taufiq Ismail


Image Hosted by 4FreeImageHost.com
Di tahun 1997 saya bertemu Chrisye sehabis sebuah acara, Dia berkata “Bang saya punya sebuah lagu. Saya sudah coba menulis kata-katanya, tapi saya tidak puas. Bisakah Abang tolong tuliskan liriknya?” Karena saya suka lagu-lagu Chrisye, saya katakan bisa. Saya tanyakan kapan mesti selesai. Dia bilang sebulan. Menilik kegiatan saya yang lain, deadline sebulan bolehlah. Kaset lagu itu dikirimkannya, berikut keterangan berapa baris lirik diperlukan, dan untuk setiap larik beberapa ketukannya, yang akan diisi dengan suku kata. Chrisye menginginkan puisi relijius.
Kemudian saya dengarkan lagu itu. Indah sekali. Saya suka betul. Sesudah seminggu, tidak ada ide. Dua minggu begitu juga. Minggu ketiga inspirasi masih tertutup. Saya mulai gelisah. Diujung minggu keempat tetap buntu. Saya heran, padahal lagu itu cantik jelita. Tapi kalau ide memang macet, apa mau dikata. Tampaknya saya akan telpon Chrisye keesokan harinya dan saya mau bilang “ Chris, maaf ya, macet, sorry”. Saya akan kembalikan pita rekaman itu.



Saya punya kebiasaan rutin baca Surah Yasin. Malam itu, ketika sampai ayat 65 yang berbunyi “A’udzubillahi minasyaithanirrajim. Alyauma nakhtimu aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu yaksibuun”, saya berhenti. Maknanya “Pada hari ini Kami akan tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada kami dan kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan”. Saya tergugah, makna ayat tentang hari pengadilan akhir ini luar biasa!

Saya hidupkan lagi pita rekaman dan saya bergegas memindahkan makna itu ke larik-larik lagu tersebut. Pada mulanya saya ragu apakah makna yang sangat berbobot itu akan bisa masuk pas ke dalamnya. Bismillah. Keragu-raguan teratasi dan Alhamdulillah penulisan lirik itu selesai. Lagu itu saya beri judul Ketika Tangan dan Kaki Berkata.

Keesokannya dengan lega saya berkata di telpon “Chris Alhamdulillah, selesai” Chrisye sangat gembira. Saya belum beritahu padanya asal-usul inspirasi lirik tersebut . berikutnya hal tidak biasanya terjadilah. Ketika berlatih di kamar menyanyikannya baru dua baris Chrisye menangis, menyanyi lagi, menangis lagi, berkali-kali.

Di dalam memoarnya yang dituliskan Alberthiene Endah, Chrisye sebuah memoar musical 2007 (hlm 308-309), bertutur Chrisye : Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang karir, yang menggetarkan sekujur tubuh saya. Ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu. Liriknya benar-benar mencekam dan menggetarkan. Dibungkus melodi yang begitu menyayat, lagu itu bertambah susah saya nyanyikan! Di kamar, saya berkali-kali menyanyikan lagu itu. Baru dua baris, air mata saya membanjir. Saya coba lagi, menangis lagi. Yanti sampai syok! Dia kaget melihat respons saya yang tidak biasa terhadap sebuah lagu. Taufiq member judul pada lagu itu sederhana sekali, Ketika Tangan dan Kaki Berkata.

Lirik itu begitu merasuk dan membuat saya dihadapkan pada kenyataan, betapa tak berdayanya manusia ketika hari akhir tiba. Sepanjang malam saya gelisah. Saya akhirnya menelpon Taufiq dan menceritakan kesulitan saya. “Saya mendapat ilham lirik lagu itu dari Surah Yasin ayat 65….” Kata Taufiq.

Ia menyarankan saya untuk tenang saat menyanyikannya. Karena sebagaimana bunyi ayatnya, orang memang sering kali tergetar membaca isinya. Walau sudah ditenangkan Yanti dan Taufiq, tetap saja saya menemukan kesulitan saat mencoba merekam di studio. Gagal, dan gagal lagi. Berkali-kali saya menagis dan duduk dengan lemas. Gila! Seumur-umur, sepanjang karir saya, belum pernah saya merasakan hal seperti ini. Dilumpuhkan oleh lagu sendiri.
Butuh kekuatan untuk bisa menyanyikan lagu itu. Erwin Gutawa yang sudah senewen menunggu lagu terakhir yang belum direkam itu, langsung mengingatkan saya, bahwa keberangkatan ke Australia sudah tidak bisa ditunda lagi. Hari terakhir menjelang ke Australia, saya lalu mengajak Yanti ke studio, menemani saya rekaman. Yanti shalat khusus untuk mendoakan saya. Dengan susah payah, akhirnya saya bisa menyanyikan lagu itu hingga selesai. Dan tidak ada take ulang! Tidak mungkin. Karena saya sudah menangis dan tak sanggup menyanyikan lagi. Jadi jika sekarang Anda mendengarkan lagu itu, itulah suara saya dengan getaran authentic, dan tak terulang!, jangankan menyanyikan lagi, bila saya mendengarkan lagu itu saja rasanya ingin berlari!

Lagu itu menjadi salah satu lagu yang paling penting dalam deretan lagu yang pernah saya nyanyikan. Kekuatan spiritual di dalamnya benar-benar meluluhkan perasaan. Itulah pengalaman batin saya yang paling dalam selama menyanyi.
Penuturan Chrisye dalam memoarnya itu mengejutkan saya. Penghayatannya terhadap pengadilan hari akhir sedemikian sensitive dan luar biasa, dengan saksi tetesan air matanya. Bukan main. Saya tidak menyangka sedemikian mendalamnya penghayatannya terhadap makna pengadilan hari akhir di hari kiamat kelak.

--000OO00--

Mengenai menangis ketika menyanyi, hal yang serupa terjadi dengan Iin Parlina dengan lagu Rindu Rasul. Di dalam konser pertunjukan, Iin biasanya cuma kuat menyanyikan dua baris dan pada baris ketiga Iin akan menunduk dan membelakangi penonton menahan sedu sedannya. Demikian sensitifnya dia pada shalawat Rasul dalam lagu tersebut.
Setelah rekaman ketika tangan dan kaki berkata selesai, dalam peluncuran album yang saya hadiri, Chrisye meneruskan titipan honorarium dari produser untuk lagu tersebut, saya enggan menerimanya. Chrisye terkejut “Kenapa Bang, kurang?” saya menjelaskan bahwa saya tidak orisinil menuliskan lirik lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata itu. Saya cuma jadi tempat lewat, jadi saluran saja. Jadi saya tak berhak menerimanya. Bukankah itu surah Yasin ayat 65 firman Tuhan? Saya akan salah menerima sesuatu yang bukan hak saya.
Kami berdebat, Chrisye mengatakan bahwa dia menghargai pendirian saya, tetapi itu merepotkan administrasi. Akhirnya Chrisye menemukan jalan keluar “Begini saja Bang, Abang tetap terima fee ini, agar administrasi rapi. Kalau Abang merasa bersalah, atau berdosa, nah, mohon ampun kepada Allah SWT, Tuhan Maha Pengampun khan ?”
Saya piker jalan yang ditawarkan Chrisye betul juga. Kalau saya berkeras menolak akan kelihatan kaku dan bisa ditafsirkan berlebihan. Akhirnya solusi Chrisye saya terima. Chrisye senang, saya pun senang.

***OOO***

Pada subuh hari Jumat 30 Maret 2007, pukul 04.08, penyanyi legendaries Chrisye wafat dalam usia 58 tahun, setelah tiga tahun lebih keluar masuk rumah sakit, termasuk berobat di SIngapura. Diagnosis yang mengejutkan adalah kanker paru-paru stadium empat. Dia meninggalkan Istri Yanti, dan empat anak Risty, Nissa, Pasha dan Masha, 9 album proyek, 4 Album soundtrack, 20 album solo dan film.
Semoga penyanyi yang lembut hati dan pengunjung setia masjid ini, tangan dan kakinya kelak akan bersaksi tentang amal salehnya serta menuntunnya memasuki gerbang hari akhir yang semoga terbuka lebar baginya. Amin.

#Artikel ini dimuat ulang dari majalah Horizon dan Taufiq Ismail#

Alasan Karyawan/Pegawai Mutasi (Pindah) Antar Unit Kerja


Mutasi adalah bagian dari rangkaian proses SDM, perlu diketahui bersama bahwa proses atau siklus dalam Sumber Daya Manusia adalah dimulai dari Proses Rekrutment (seleksi Karyawan/ pegawai) hingga pensiun atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Mutasi Karyawan antar bagian atau antar unit kerja sangat diperlukan oleh manajemen dengan alasan :

1. Untuk melakukan perubahan suasana kerja sehingga akan tercipta iklim (suasana kerja) yang baru. Setiap hari secara perlahan semua yang ada dalam diri kita akan mengalami perubahan, dari bayi, anak, remaja, dewasa dan tua. Nah… Mutasi merupakan salah satu proses yang harus dilakukan untuk memberikan perubahan.
2. Mutasi dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan di suatu unit kerja, atau kotak-kotak jabatan dalam struktur organisasi harus diisi sesuai dengan kebutuhan formasi yang seharusnya.


3. Mutasi merupakan bagian dari suatu perencanaan SDM sehingga proyeksi ke depan dalam menghadapi perubahan telah dipersiapkan. Selain itu efek yang perlu dipikirkan dari mutasi atau memindahkan karyawan / pegawai adalah biaya pindah karyawan harus dianggarkan oleh perusahaan. Perusahaan yang tidak menganggarkan mutasi pegawai bisa terjadi dalam organisasi yang tidak memiliki cabang atau pembukaan unit kerja baru, namun bagi organisasi / perusahaan yang memiliki banyak cabang / unit bisnis baru sebaiknya dan idealnya menganggarkan biaya pindah karyawan.
4. Dalam kondisi caos atau kacau balau atau morat-marit dan memerlukan semacam cooling down dapat dijadikan manajemen untuk melakukan mutasi / pindah karyawan dan bisa jadi mutasi merupakan tindakan tepat untuk menghindari meluasnya konflik.
5. Mutasi ditujukan sebagai langkah untuk mendapatkan orang yang tepat, pada tempat yang tepat (sesuai kompetensi), dan pada waktu yang tepat. jika diibaratkan jangan menanam tanaman yang memerlukan tanah yang basah di tanah yang kering, demikian juga sebaliknya jangan menanam tanaman yang memerlukan tanah yang kering di tanah yang basah.
6. Mutasi dilakukan untuk meningkatkan kegairahan kerja, mengurangi labour turn-over, serta terciptanya persaingan yang sehat.
7. Mutasi dilakukan dengan pendekatan keadilan (batasan lamanya seseorang disuatu unit kerja) dan harus dilakukan secara merata.
8. Alasan yang terakhir ini adalah merupakan merupakan alasan non manajerial atau mengedepankan kekuasaan. Hal ini masih sering terjadi di hampir seluruh organisasi yaitu kecenderungan pimpinan merasa berkuasa dan merasa sudah tidak dapat menjalin hubungan baik dengan bawahan atau dengan perkataan lain atasan sudah tidak soul made dengan bawahan sehingga merekomendasikan untuk dilakukan mutasi atau pindah antar bagian terhadap bawahan.

INTERNET DAN KOMUNIKASI POLITIK



Di Amerika Serikat, peran Internet dalam perpolitikan sangat menjanjikan. Skenario optimis mengatakan bahwa dialog antara politisi dan warga dapat terjadi tanpa harus dimediasi oleh pers-pers besar dan uang serta bebas dari iklan dan soundbite. Jika skenario ini berjalan, maka pemilih dapat berdiskusi di antara mereka dan membentuk opini-utama yang sebelumnya sulit dilakukan.

Namun, perlu disadari bahwa Internet memunculkan sejumlah pertimbangan yang berbeda dari media konvensional. Sebagai contoh, problem tradisional media adalah dalam hal akses dan kontrol. Dengan biaya yang murah untuk mengirim informasi, Internet sebagai media baru mengubah arsitektur komunikasi dari arus tunggal menuju arus interaktif [multi-arus]. Hal ini mengubah aspek akses dan kontrol karena memungkinkan setiap pemilih atau kelompok menyumbangkan informasi kepada khalayak umum dan memungkinkan pemilih berkomunikasi di antara mereka sendiri.

Sayangnya, selain skenario dan kontribusi positif Internet tersebut [komunikasi interaktif], terdapat sisi negatif Internet yang mengandung masalah-masalah etis, yakni:
[1] pelanggaran privasi berupa pengumpulan informasi tentang pengguna tanpa sepengetahuan dan izin yang bersangkutan;
[2] informasi yang tidak akurat bahkan sengaja menyesatkan; serta
[3] fragmentasi sektoral.

Pengumpulan Informasi Tentang Pengguna Tanpa Izin
Situs Web dapat mengumpulkan informasi tentang pengunjungnya melalui tiga cara. Pertama, dengan cara membuat pertanyaan dalam format saiber yang interaktif kepada pengunjung situs. Jawaban pengunjung tersebut akan menentukan bagaimana interaksi akan berlangsung dan pengunjung akan memperoleh apa yang dipilihnya. Kedua, melalui cookie-jar yang secara otomatis selalu menyimpan setiap alamat situs yang dikunjungi oleh pengguna Internet. Dan ketiga, perancang situs Web dapat memakai site-tracking yang bisa mengikuti pengguna Internet dari satu situs ke situs lainnya. Perpindahan kunjungan situs tersebut dapat dijadikan petunjuk mengenai kepentingan seseorang. Identitas pengguna [IP-address] juga dapat dilacak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengguna Internet harus beranggapan bahwa segala aktifitas mereka dalam Web sedang direkam dan akan digunakan oleh pihak tertentu.

Bagaimana operator situs menggunakan informasi yang terkumpulkan tersebut? Dalam hal ini terdapat sebuah aplikasi issue-modelling. Ketika pengguna Internet kembali lagi mengunjungi suatu situs, Web akan mendeteksi IP-address dan aktifitas pengguna dalam situs tersebut [jawaban-jawaban, pilihan-pilihan, apa yang dilihat, situs lain yang dikunjungi, terhubung kemana saja]. Kemudian komputer akan mengubah informasi halaman Web yang terpasang untuk setiap pengguna. Jadi Web akan menyajikan sebuah halaman Web yang mencerminkan topik kepentingan pengguna tertentu pada saat itu.

Di dunia bisnis, seperti yang dilansir harian Seputar Indonesia edisi 15 April 2008, para raksasa Internet seperti Google, Yahoo dan Microsoft dalam rangka pertarungan sengit memperebutkan pendapatan iklan online dan mampu menyajikan iklan tepat kepada sasaran, juga mempelajari aktivitas online para pengguna. Misalnya, Yahoo mampu mengetahui kata kunci apa saja yang paling sering digunakan pengguna untuk melakukan pencarian. Yahoo pun menyajikan iklan-iklan yang berhubungan dengan kata-kata kunci tersebut ketika pengguna membuka halaman-halaman Yahoo.

Sebagai contoh, apabila pengguna Yahoo kerap melakukan pencarian dengan kata-kata kunci yang berhubungan dengan dunia otomotif, maka Yahoo pun menyajikan iklan otomotif ketika pengguna membuka halaman berita di situs Yahoo. Yahoo bahkan mampu mengetahui kebe-radaan penggunanya. Misalnya ketika pengguna berada di Indonesia, maka Yahoo pun menya-jikan iklan-iklan yang berhubungan dengan Indonesia, atau dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia.

Ulah para raksasa Internet tersebut ternyata membuat cemas para pengguna Internet. Jajak pendapat Harris Interactive Inc. di Amerika Serikat terhadap 2500 orang mengungkap, sebanyak 59 persen responden merasa cemas privasinya dilanggar karena “dimata-matai” oleh Google, Yahoo dan Microsoft. “Situs-situs yang mempelajari perilaku online pengguna harus menawarkan manfaat lebih besar kepada pengguna agar pengguna tidak merasa dimanfaat-kan semata untuk mengeruk pendapatan,” ujar Professor Hukum Publik Columbia University Dr. Alan F. Westin, perancang jajak pendapat Harris Interactive tersebut.

Dalam dunia politik, memiliki informasi tentang kepentingan pribadi seseorang dapat memberikan operator kemampuan untuk mengolah pesan yang menarik secara indvidual. Pemirsa Internet dapat takjub tatkala seorang kandidat bisa mengurusi masalah lingkungan hidup di situs Web padahal sebelumnya tidak pernah berbicara tentang topik tersebut di forum-forum publik lainnya. Analisis komputer tersebut tidak akan sempurna, apalagi terdapat peluang salah menafsirkan kepentingan seseorang dari pola kunjungan situsnya. Namun analisis komputer tersebut akan meninggikan probabilitas penyampaian informasi menarik bagi permirsa Internet. Hal ini merupakan kiat sederhana untuk memberikan informasi bersifat personal berdasarkan kepentingan individu daripada melihat angka rata-rata statistik kemungkinan pengunjung situs.

Namun demikian, aktivitas mengumpulkan informasi personal tanpa sepengetahuan pemiliknya merupakan pelanggaran etis atas ruang pribadi individu. Apakah kebutuhan pengembangan komunikasi politik membenarkan pelanggaran pribadi ini? Ayn Rand [1943] menyatakan, bahwa “peradaban sipil adalah proses menuju masyarakat yang mempunyai hak atau ruang pribadi.” Jelas bahwa pengumpulan informasi dalam media seperti Internet tidak menyumbang pada kemajuan peradaban sipil. Disebabkan oleh keinginan mengembangkan efisiensi dan efektifitas komunikasi politik, kita merancang perangkat yang oleh standar nilai dapat dinilai melewati batas keintiman yang tidak diinginkan.

Proses mengumpulkan, menyimpan dan bertindak berdasarkan data yang diambil diam-diam dari pengunjung itu harus dipertanyakan. Pada taraf mana aktifitas pengumpulan data melanggar hak atau ruang pribadi individu? Kapan penggunaan informasi ini dapat dinyatakan manipulatif dan membahayakan? Namun terdapat fakta yang mengecewakan untuk menjawab pertanyaan tersebut, yakni media Internet tidak mengenal kontrol.

Walaupun pemerintah dapat meluncurkan aturan hukum yang memadai, secara teknis sulit menerapkan tindakan hukum. Sebab, tidak ada organisasi pemilik, tidak ada menara siar atau cetakan resmi dan tidak ada batasan yang dapat ditegakkan. Kita dapat menentang pelanggaran hak asasi pribadi, tetapi belum ada yang menemukan terapi hukum yang konstitusional. Dalam kaitan ini, kita dapat memerangi teknologi dengan teknologi. Pada waktunya akan ada perangkat lunak yang mengalahkan invasi cookie-jar dan site-tracking dan modus intervensi lainnya. Karena itu keamanan informasi pribadi merupakan tanggung jawab masing-masing pengguna.

Namun demikian, setidaknya yang dapat dilakukan adalah memberitahukan kepada pengguna Web bahwa kebiasaan browsing mereka dapat direkam dan dimanfaatkan pihak tertentu. Apakah publik mengetahui jika informasi tentang mereka akan diolah untuk menjadikan mereka sebagai target pesan politik? Apakah publik rela jika kebiasaan browsing mereka dianalisa untuk kampanye kaum buruh, strategi persuasi dan untuk kepentingan siapapun yang memiliki teknologi dan kecenderungan untuk melakukannya? Namun itu saja belum cukup, media-media mainstream perlu membahas masalah ini secara terbuka dan provider harus menjadikan ini sebagai masalah penting. Pemahaman praktik ini akan memampukan pengunjung Internet untuk memahami bahwa Internet bukanlah media pribadi.

Apalagi saat ini belum ada yang mengetahui tingkat toleransi masyarakat atas pemantauan komputer dimaksud. Ada argumen yang menyatakan bahwa dengan demikian setiap pengunjung Web akan diperlakukan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu mengapa tidak memberikan apa yang mereka inginkan? Argumen ini mungkin terdengar persuasif dan masuk akal, namun dapat mengarah kepada manipulasi terhadap pemilih, sebagai bagian dari agenda-setting politik. Manipulasi akan terjadi bila sebuah kampanye politik merangkai agenda kebijakan politik yang berbeda-beda untuk setiap kelompok pemilih, bahkan berbeda-beda untuk setiap orang pemilih.

Efek Web atau Internet yang menghasilkan strategi memecah dan menguasai publik akan menyukseskan kandidat untuk menjangkau berbagai kelompok dengan kesan yang sebangun, sementara itu kandidat tetap menyembunyikan keseluruhan gambaran dari semua kelompok. Karena itu pemilih bisa dimanipulasi oleh proses agenda-setting dimana setiap kelompok akan mempunyai visi yang berbeda-beda tentang seorang kandidat.

Informasi yang Tidak Akurat Bahkan Sengaja Menyesatkan
Setiap orang harus melihat informasi yang terdapat di Web dengan kritis, terlebih lagi reporter dan kalangan professional yang dapat menyebarkan informasi tersebut jauh dari sumber atau versi aslinya sehingga akan melipatgandakan dampaknya. Karena itu reporter memikul tanggungjawab etis untuk memeriksa fakta-fakta yang diolah dari Internet.

Dengan biaya yang relatif murah [25 dollar], setiap orang bisa membuat situs Web pribadi atau situs Web organisasi. Bahkan jika cuma sekadar menjadi anggota atau membuat mailing list tertentu atau bahkan memiliki blog pribadi, hal ini bisa didapatkan tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, tentu di luar biaya yang dikeluarkan untuk berlangganan sambungan Internet itu sendiri. Ini berarti setiap orang, setiap kelompok, setiap partai, setiap organisasi apapun juga, dapat melansir berita dan opini apapun di Internet, karena tidak ada lembaga apapun yang akan bertindak sebagai lembaga sensor untuk informasi apapun yang ditayangkan di Internet. Oleh karena itu, verifikasi atas informasi yang ditayangkan di Internet adalah tanggung jawab pengguna Internet itu sendiri.

Setiap orang yang mendapatkan informasi dari Web harus waspada. Pengguna Web pada umumnya tidak memahami konsep hubungan jaringan dalam Web. Saat pengguna mengklik sebuah alamat situs yang diakses dari sebuah situs Web, maka sebetulnya ia telah beralih kepada situs Web yang lain pula. Sebagai contoh, sebuah kasus di Amerika Serikat, seorang juru bicara—Adelaide Elms—menceritakan tentang pengguna yang berkunjung ke situs non-partisan PVS [Project Vote Smart], yang dberitahukan bahwa semua link yang terhubung dengannya adalah buatan PVS. Padahal salah satu link yang tercantum dalam halaman PVS setelah diklik ternyata disapa dengan ucapan: “Selamat Datang di Homepage Komite Nasional Partai Demokrat,” namun pengunjung menganggap situs tersebut adalah buatan dan mitra kerja PVS karena dapat diakses dari situs PVS.

Contoh lain, seseorang mendapatkan surat elektronik [email] di kotak inbox email Yahoo yang berisi informasi bahwa Yahoo telah mengundi alamat email orang tersebut dan ia memenangkan hadiah uang tunai sebesar 250 dollar AS yang akan ditransfer ke rekening e-gold yang memang dimiliki orang tersebut di Internet. Orang tersebut percaya kepada informasi tersebut karena email tersebut memang seolah berasal dari Yahoo—dengan tampilan Web yang persis sekali dengan tampilan Yahoo yang asli. Disampaikan bahwa sebelum orang tersebut menerima hadiah uang yang akan ditransfer ke rekening e-gold miliknya, terlebih dahulu ia harus membayar biaya administrasi dengan mentransfer ke rekening e-gold tertentu sebesar beberapa dollar, suatu hal yang memang dilakukannya.

Namun setelah persyaratan itu ia cukupi, ternyata hadiah uang yang dijanjikan tak kunjung masuk ke rekening e-gold miliknya. Kasus ini sebagai bukti bahwa bahkan situs email seperti Yahoo pun tak luput dari pemalsuan oleh pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan illegal di Internet. Menyadari hal ini, kemudian Yahoo melengkapi situsnya dengan segel pengaman [berupa tampilan gambar dan password tambahan] untuk menjaga keyakinan pengguna email bahwa situs yang diakses adalah benar-benar situs Yahoo yang asli.

Seorang wartawan CBS Charles Kurait, menemukan banyak hal menarik tentang Galileo di Web dimana Gereja diposisikan sedikit lebih baik, namun ternyata artikel tersebut ditulis oleh seseorang dari Vatikan, sebagai loyalis yang mencoba menulis ulang sejarah. Untungnya Kurait tahu banyak tentang sejarah Galileo. Tapi bagaimana dengan pengunjung awam? Apakah hal ini bisa terjadi pada media lain? Tentu saja bisa, tetapi lain halnya di Internet, karena Internet adalah ruang yang dinamis, maya, anonim dimana semua pihak yang memiliki agenda tertentu bisa melansir berita apa saja.

Bagi para jurnalis, sikap terbaik terhadap informasi yang terdapat di Internet adalah mempercayai informasi tersebut namun melakukan verifikasi atas kebenarannya merupakan tindakan bijaksana yang perlu dilakukan. Namun jika tidak, Menurut Marvin Kalb seorang wartawan CBS, para jurnalis dapat melakukan apa yang dinamakan sebagai tyranny of the file, yaitu suatu kondisi dimana jurnalis menggunakan data-data dari arsip yang tercemar. Data yang tidak akurat akan melekat dalam laporan satu kepada laporan lain yang memakai data yang tercemar tersebut.

Pemikiran Kalb menumbuhkan kecurigaan tentang penggunaan informasi Internet di ruang redaksi, misalnya saja situs Web yang berisi banyak berita palsu selama masa pemilihan presiden AS. Berita itu tampaknya representatif, dengan tampilan yang layak, alamat Web dan teks yang meyakinkan, padahal situs Web tersebut adalah palsu. Alamat Web yang asli kadang hanya dibedakan dari ekstension URL-nya saja [dot-com, dot-edu atau dot-org] atau garis hubung. Misalnya, www.dolekemp96.org adalah situs kandidat Partai Republik, sedang www.dole-kemp.org adalah situs palsu.

Terlepas dari kenyataan ini, verifikasi atas informasi Internet adalah tanggungjawab pengguna. Pengguna yang memakai informasi Web untuk melakukan penilaian politik wajib mengetahui kredibilitas atau kebenaran sumber informasinya. Adalah kewajiban pengguna untuk mencurigai setiap klik yang ditekan dan situs yang diakses.

Fragmentasi Sektoral
Internet berpotensi melakukan fragmentasi terhadap khalayak atau para pemilih. Berbeda dengan media suratkabar—dimana semua berita dan informasi disajikan sekaligus di dalam lembaran suratkabar dan pembaca dapat mendapatkan semua informasi dengan membaca semua informasi yang tersedia—Internet justru memecah dan membagi informasi berdasarkan topik-topik [atau judul-judul] yang ditulis secara hiperteks, di mana informasi dapat ditelusuri dan dibaca setelah pengguna Internet mengklik hiperteks tersebut.

Penyusunan informasi di situs Web dalam bentuk demikian, memang merupakan keharusan bawaan yang melekat dalam media seperti Internet. Sehingga pengguna Internet, dengan demikian, akan mengubah pendekatan dan budaya membaca informasi yang disajikan situs Web dengan hanya membaca topik-topik yang memiliki nilai penting dan bermanfaat bagi dirinya. Ketika berkunjung ke sebuah situs Web, seseorang hanya akan mencari informasi yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Ia akan mengikuti keingintahuannya sendiri dan merangkai kumpulan fakta pribadi tentang sebuah isu atau tema tertentu.

Seperti halnya televisi kabel, Web melakukan penargetan—hingga ke taraf ultra-targetting—terhadap audiens. Ultra-targetting tersebut menghasilkan segmentasi audiens dengan menjauh-kan pengguna dari situs-situs umum dan mengarahkan mereka sesuai kepentingan mereka masing-masing. Kapasitas luar biasa Internet untuk menargetkan audiens tersebut menjadi kunci untuk semakin mencemaskan bahaya fragmentasi.

Berhadapan dengan media Internet, orang-orang yang mengejar agendanya sendiri akan sangat mungkin membatasi keterbukaan mereka dalam menerima informasi dengan dua cara. Pertama, mereka mungkin ketinggalan informasi atas isu-isu yang terjadi di luar pemindaian rutinnya. Dan kedua, ketika mereka mengejar informasi berdasarkan sudut pandang partisan dan ideologis, mereka akan menanggung risiko tidak mendapatkan informasi dari sudut pandang yang berlawanan dengan minat politiknya sendiri.

Situs-situs Web yang dibuat berdasarkan sudut pandang partisan atau ideologis, akan melansir berita atau informasi yang menyatakan sebuah posisi sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri—dan sering kali sekeras mungkin untuk menguatkan pengikutnya. Tidak seperti media suratkabar yang menyajikan berita dengan meliput secara both-sides, situs-situs partisan atau ideologis seperti itu tidak menyisakan ruang untuk posisi yang berseberangan dengan pendapat mereka. Mereka hanya memberikan argumen yang berat sebelah. Persoalan yang terdapat pada situs-situs ideologis dan partisan, mereka membutakan pengguna terhadap argumen-argumen alternatif. Aliran informasi seperti ini akan membiaskan khalayak. Para pengunjung situs seperti ini mungkin pula berpendapat bahwa ideologi-ideologi pinggiran adalah identik dengan ideologi mainstream [utama].

Dengan demikian, apa yang diuraikan di atas berpotensi menciptakan fragmentasi [politik] di masyarakat. Fragmentasi dapat melemahkan sistem politik yang dibangun di atas konsensus bersama. Padahal kemajemukan kepentingan dapat berfungsi sebagai jaminan stabilitas politik dan melawan despotisme mayoritas. Munculnya berbagai pandangan tentang suatu masalah justru akan menjadi penyeimbang bagi sistem politik yang didominasi partai.

Fragmentasi politik akan membuat publik terpecah ke dalam faksi-faksi. Faksi-faksi dipandang sebagai sesuatu yang buruk karena mereka berpandangan sempit dan egois—yang membuat sekelompok masyarakat hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan sulit berempati dan memperhatikan problema orang lain. Kecemasan terhadap faksi adalah bahwa kita mungkin menjadi terisolasi di hadapan sudut pandang orang lain dan kita akan menganggap diri kita paling benar sehingga dapat sangat destruktif terhadap tujuan masyarakat atau bangsa secara umum.

Bila media Internet telah semakin populer dan menyelimuti khalayak serta telah menjadi gaya hidup masyarakat dalam berkomunikasi dan mencari berbagai informasi, dan bila mereka tidak dapat menghasilkan pandangan bersama, maka setidaknya mereka memberikan titik-titik rujukan bersama. Akankah Internet mendorong debat publik yang luas atau justru mendorong fragmentasi dan faksionalisme, tentu waktulah yang akan menentukannya. Tapi adanya kesempatan untuk menelaah dan mendiskusikan isu-isu dari berbagai sudut pandang dan perspektif akan menghasilkan kontribusi penting bagi debat politik yang lebih luas.


Bacaan: “Political Communication Ethics: An Oxymoron?” Edited by Robert E. Denton, Jr, NewYork: Praeger Publisher, 1991, p.203-239.

Diposting sebagai persyaratan untuk memenuhi sebagian persyaratan mata kuliah ‘Etika Komunikasi Politik’ pada Program Pasca Sarjana FISIP Jurusan Komunikasi Politik, Universitas Indonesia, Semester Genap Tahun 2008, asuhan Prof.DR. Alois A. Nugroho.
Disusun oleh Topan R. Hasanuddin NPM : 0706185761

ETIKA DALAM IKLAN POLITIK



Aktivitas komunikasi seharusnya mendorong kecakapan manusia untuk berpikir secara logis, dan tujuan dari semua komunikasi politik seharusnya adalah untuk membentuk informed electorate. Jika para pemilih bermaksud membuat pilihan rasional tentang para pemimpin dan isu-isu kebijakan, mereka harus memiliki akses kepada informasi yang benar dan akurat, tidak ambigu, tidak diwarnai emosi, yang dengan demikian dapat memperkuat proses pembuatan keputusan.

Dalam kaitan itu, pemanfaatan televisi sebagai media kampanye politik dewasa ini semakin meningkat intensitasnya. Hal ini tidak mengherankan karena televisi mampu menyajikan gambaran visual dari para tokoh yang mengiklankan dirinya di televisi. Gambaran visual yang muncul di televisi tersebut mampu membuat pencitraan seorang tokoh sebagaimana yang diharapkan oleh pihak yang membuat iklan politik di televisi tersebut.

Namun demikian, boleh jadi pencitraan terhadap seorang kandidat yang dilakukan melalui iklan politik di media televisi bukanlah citra yang sesungguhnya dari kandidat tersebut, namun merupakan citra yang direkayasa atau citra artifisial yang dilekatkan kepada sang kandidat. Di sinilah letak perdebatan sebuah iklan politik yang ditayangkan televisi: iklan politik di televisi, kendati merupakan ekspresi kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan yang sepenuhnya dijamin oleh undang-undang, tetap harus memenuhi norma-norma etis sebagai bagian dari sistem demokrasi politik yang lebih luas.

Masalah pencitraan seorang tokoh politik hanya merupakan bagian dari masalah-masalah etis yang dapat muncul dalam iklan politik di televisi. Secara umum, masalah-masalah etis dalam iklan politik di televisi yang harus diperhitungkan adalah berupa:
[1] akses kepada pemilih ditentukan oleh besarnya dana yang dimiliki;
[2] pesan tidak “mencerdaskan” tetapi lebih dialamatkan kepada perasaan;
[3] masalah yang diangkat terlampau disederhanakan;
[4] banyak informasi yang relevan dan penting disembunyikan;
[5] dapat terjadi manipulasi teknologis; serta
[6] dapat muncul iklan negatif. Mari kita tinjau hal-hal ini satu persatu.

Akses Kepada Pemilih Ditentukan Oleh Besarnya Dana yang Dimiliki
Iklan politik berfungsi untuk memberi pemilih suatu sudut pandang. Sudut pandang partai politik atau seorang kandidat harus disampaikan melalui media yang merupakan akses untuk menjangkau para pemilih, khususnya televisi. Iklan elektronik memberikan andil yang besar dalam komersialiasi politik dalam rangka menjangkau dan mempengaruhi sikap para pemilih tersebut.

Di Amerika Serikat, pada tahun 1996, kandidat presiden Clinton dan Dole menghabiskan total biaya iklan hampir sebesar 200 miliar dollar AS untuk iklan TV selama kampanye kepresidenan. Rata-rata pemilihan Senator AS di tahun 1996 menghabiskan 4,3 miliar dollar AS, umumnya untuk iklan elektronik. Total biaya iklan elektronik dalam kampanye politik 1996 mencapai 400 miliar dollar AS. Survei baru-baru ini menyimpulkan bahwa 88,9 persen calon Senat dan 87,2 persen calon Kongres berkampanye melalui TV daripada melalui media lainnya.

Di balik fakta-fakta ini, tidaklah jelas mengapa sebagian orang menganggap penggunaan uang dalam berkomunikasi dengan pemilih sebagai tidak etis. Di tahun 1970-an, AS menerapkan secara ketat batas sumbangan untuk keperluan kampanye dan mengharuskan pelaporan dan transparansi atas sumber dan penggunaan dana kampanye tersebut. Menurut Mahkamah Agung AS, upaya membatasi pengeluaran untuk iklan adalah termasuk pelanggaran terhadap hak kebebasan berbicara, kecuali jika pengeluaran tersebut berkaitan dengan keuangan publik.

Namun demikian, jika di Amerika Serikat membatasi pengeluaran iklan adalah termasuk pelanggaran terhadap Amandemen Pertama yang menjamin hak kebebasan berbicara, maka di Indonesia mungkin kondisi dan situasinya akan lain. Dalam kondisi di mana kemiskinan yang menurut data Bank Dunia masih menghinggapi 45 persen dari total penduduk Indonesia, apakah etis menghamburkan dana puluhan hingga ratusan miliaran rupiah untuk meraih jabatan publik seperti presiden dan gubernur? Terlebih lagi adanya kenyataan bahwa belum tentu pasangan kandidat yang mengeluarkan belanja iklan politik yang paling banyak akan memenangkan pemilihan tersebut.

Data pada Tabel 1 memperlihatkan besaran biaya kampanye 5 [lima] pasang kandidat presiden pada pemilu 2004. Mega-Muzadi mengeluarkan biaya kampanye Rp 1 trilyun dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan per pemilih adalah Rp 23.110. Sedang pasangan SBY-Kalla menghabiskan biaya kampanye Rp 500 miliar dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan per pemilih adalah Rp 7.242. Memang jika dilihat dari rata-rata biaya yang dikeluarkan per pemilih, terlihat besaran biaya kampanye tersebut relatif kecil saja. Namun jika dilihat secara total, maka biaya kampanye sebesar Rp 1 trilyun yang dikeluarkan pasangan Mega-Muzadi adalah sangat signifikan jika akan digunakan untuk menyubsidi biaya pendidikan anak-anak miskin. Apalagi pada kenyataanya, pasangan Mega-Muzadi, sebagai pasangan yang mengeluarkan belanja kampanye paling besar, tidak menjadi pemenang pilpres 2004. Artinya dengan perhitungan ekonomis, dapat dikatakan bahwa biaya kampanye sebesar Rp 1 trilyun tersebut adalah kemubaziran absolut, karena tidak menghasilkan manfaat apapun.

Masalahnya adalah darimana biaya kampanye yang luar biasa besarnya itu datang? Sementara kekayaan pribadi Megawati-Taufik Kiemas seperti pernah dilansir media ketika ia menjabat sebagai wakil presiden di era Presiden Abdurahman Wahid, hanya sebesar Rp 50 milyar hingga Rp 60 milyaran saja. Namun paling tidak kita bisa menduga bahwa aliran dana kampanye mungkin akan berasal dari para pengusaha yang akan berusaha memberi andil bagi kemenangan kandidat tertentu, yang pada gilirannya jika pasangan kandidat yang didukung itu menang, tentu akan memberi kemudahan bagi pengusaha dalam hal regulasi bisnis.

Yang dikuatirkan adalah, dalam upaya menggalang dana kampanye yang sedemikian besarnya itu, ada potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kita masih ingat bagaimana Rokhmin Dahuri selaku Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri harus berurusan dengan pihak berwajib karena ada sebagian dana nonbujeter di departemennya yang mengalir ke pasangan kandidat presiden pada pilpres 2004 yang lalu. Selain itu, bisa pula terjadi bahwa sumbangan itu berasal dari pihak asing melalui perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesia dan dana-dana yang berasal dari aktivitas pencucian uang [money laundering].

Memang, pasal 131 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu mengatur pembatasan sumbangan untuk keperluan kampanye kandidat. Pasal ini mengatur maksimal dana kampanye yang berasal dari perseorangan adalah Rp 1 milyar dan dana kampanye yang boleh diberikan oleh kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah maksimal Rp 5 milyar. Pemberi sumbangan juga harus menyebutkan identitas yang jelas. Pada pasal 139, diatur bahwa dana kampanye tidak boleh berasal dari pihak asing [Harian Seputar Indonesia, edisi Minggu, 4 Mei 2008].

Namun UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu tersebut tetap tidak mengatur besaran maksimal total seluruh dana kampanye yang boleh dikeluarkan oleh kandidat atau partai politik. Oleh karena itu di masa depan, kita masih akan melihat jor-joran biaya kampanye yang nilai totalnya untuk seluruh peserta pemilu [kandidat dan parpol] akan mencapai triliunan rupiah. Kita hanya bisa mengharapkan bahwa dana-dana kampanye tersebut tidak berasal dari aktivitas illegal. Untuk itu lembaga-lembaga formal seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan [PPATK], Badan Pengawas Pemilu, KPU, Indonesian Corruption Watch, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran [Fitra] akan melakukan pengawasan ketat terkait dengan penggunaan dana kampanye pada pemilu 2009 nanti.

Kita pun hanya bisa mengharapkan kesadaran pihak-pihak yang melakukan kampanye untuk menghitung ulang antara besaran biaya kampanye yang akan dikeluarkan dengan efektifitas atau manfaat yang akan diperoleh melalui kampanye. Apakah etis menghamburkan biaya sedemikian besarnya, di tengah-tengah kondisi kemiskinan bangsa yang masih meruyak di sana-sini?

Pesan Tidak “Mencerdaskan” Tetapi Lebih Dialamatkan Kepada Perasaan
Iklan politik sering dikritik sebagai iklan yang terlalu berfokus pada citra daripada isu. Berkaitan dengan ini, suatu citra secara inheren dianggap emosional jika dibandingkan dengan isu yang dianggap berfokus pada logika. Pengambilan keputusan secara rasional oleh para pemilih diasumsikan berkaitan dengan logika dan oleh karena itu didasarkan pada informasi yang berbasis isu.

Citra dan isu bukanlah konsep dikotomis namun merupakan jalinan yang tidak terpisahkan dalam iklan politik. Citra berkaitan dengan kepribadian kandidat, sedangkan isu merujuk kepada informasi yang berkaitan dengan posisi kebijakan atas masalah-masalah publik. Konsultan politik percaya bahwa cara terbaik untuk menarik pemilih adalah melalui penggunaan konstruksi emosi dalam iklan.

Apakah salah bagi pemilih untuk mempertimbangkan informasi citra pada saat membuat keputusan memilih? Jelas bahwa tidak semua iklan politik berfokus pada isu. Beberapa iklan politik mencoba membangkitkan respon emosional pada informasi tentang kepribadian atau citra kandidat. Walau hal ini bukan merupakan model pemilih yang rasional, adalah masuk akal menilai citra kandidat sebagai suatu cara pengambilan keputusan oleh pemilih.

Sebagaimana isu-isu emosional secara umum, sebagian kecil khalayak menilai kandidat berdasarkan suku, jenis kelamin, etnis, kebiasaan pribadi dan karakter kandidat. Kualifikasi kandidat seperti jujur, bermoral, dan berkompeten sering berkaitan dengan kemampuannya untuk memerintah. Apakah tidak etis jika kita mempertimbangkan etika kandidat dalam pembuatan keputusan memilih?

Iklan politik yang dibuat di televisi hendaknya memuat liputan yang seimbang antara iklan yang berorientasi citra dengan iklan yang berorientasi pada isu-isu kebijakan yang hendak diusung kandidat atau partai politik. Sebagai contoh, jika SBY sebagai calon incumbent akan maju lagi dalam pemilihan presiden pada tahun 2009, dan hendak dicitrakan sebagai sosok presiden yang membela kepentingan rakyat miskin, maka seyogianya gambaran atas citra tersebut menyertakan pula daftar rincian prestasi serta kinerja dalam membela kepentingan rakyat miskin selama ia menjabat presiden, sehingga citra yang akan dibentuk memang sesuai dengan apa yang telah dilakukan SBY untuk mengangkat taraf hidup rakyat miskin.

Di lain pihak, jika Megawati Soekarnoputri sebagai salah satu calon presiden pada pemilu 2009, juga ingin mencitrakan dirinya sebagai pembela kesejahteraan wong cilik, maka citra yang akan dibentuk tersebut hendaknya juga menyertakan rincian kinerja atas apa yang telah dilakukannya untuk mengangkat kesejahteraan wong cilik pada era dirinya saat menjabat sebagai presiden. Namun jika daftar rincian itu ternyata tidak ada, maka ia bisa menggantikan-nya dengan daftar program kerja yang akan dilakukannya untuk mengangkat kesejahteraan wong cilik seperti yang juga dikampanyekan oleh partainya, PDIP.

Ini berarti, penonjolan citra seorang kandidat, tidak akan menjadi masalah etis apabila citra yang akan dijadikan tema iklan atau kampanye politik seorang kandidat atau partai politik tersebut dikaitkan dengan kinerja yang benar-benar telah dilakukan dan tidak hanya berupa slogan kosong. Namun jika hanya berupa jargon kosong, yang dilakukan semata demi menarik perhatian publik, maka akan ada pihak pesaing yang akan melakukan kampanye serangan-balik untuk membuktikan bahwa jargon yang diusung oleh kandidat atau partai tertentu adalah klaim palsu.

Demikian pula apa yang dikampanyekan Wiranto akhir-akhir ini di berbagai media, tentang pemberantasan kemiskinan yang diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kampanye tersebut juga berupaya menonjolkan citra Wiranto yang peduli dengan masalah kemiskinan. Ini akan menjadi masalah etis karena publik akan skeptis terhadap sosok Wiranto. Sekalipun kampanye Wiranto berorientasi kepada isu kemiskinan, namun apakah ada catatan aktivitas Wiranto sebelumnya yang benar-benar membela kepentingan rakyat miskin? Artinya, untuk mencitrakan diri sebagai tokoh yang peduli kemiskinan, Wiranto harus bekerja keras dan membuktikan ia peduli, dan memang ia harus melakukan etika kongkrit yang nyata terhadap apa yang ia maksudkan. Sekadar mengunjungi orang-orang miskin dan memberi secuil perhatian dan bingkisan bukan berarti ia akan menjelma menjadi tokoh pembela orang miskin seperti yang ia harapkan.

Masalah yang Diangkat Terlampau Disederhanakan
Kritik atas iklan politik sering didasarkan pada fakta bahwa iklan politik cenderung terlalu menyederhanakan isu politik, merendahkan dan meremehkan proses demokrasi. Isu dalam iklan politik harus mencakup pernyataan dan pembuktian, sementara iklan politik hanya berisi pernyataan saja. Durasi iklan politik yang singkat seharusnya tidak menghalangi komunikasi yang bersifat informatif. Panjangnya iklan komersial tidaklah berhubungan dengan nilai-nilai demokrasi yang baik. Iklan politik dapat menyampaikan pesan yang benar atau palsu selama 10 detik atau 30 menit. Dalam iklan politik, politisi dapat langsung ke pokok masalah dalam 30 detik, atau justru bertele-tele di seputar masalah dalam 30 menit.

Menyederhanakan masalah dengan hanya mengangkat tema tertentu tanpa menyertakan pembuktian bisa tergelincir kepada pernyataan palsu yang tidak berdasar. Semua pernyataan yang dilansir seorang kandidat atau partai politik harus mempunyai bukti-bukti yang kuat. Sebagai contoh, jika seorang kandidat presiden di tahun 2009 dalam iklan dan kampanye politiknya menyatakan bahwa SBY adalah presiden yang gagal menekan angka kemiskinan penduduk Indonesia, maka ia harus siap dengan pembuktian berupa data-data statistik yang menjelaskan posisi angka kemiskinan sebelum dan sesudah SBY menjabat sebagai presiden. Dengan demikian publik akan merujuk data-data dalam iklan atau kampanye politik tersebut sebagai cara untuk menilai kinerja Presiden SBY.

Di masa kampanye, dimana semua kandidat dan partai politik berlomba membuat pernyataan dan janji-janji politik, publik akan melakukan penilaian terhadap kebenaran pernyataan yang hanya merupakan retorika dan bahkan hanya merupakan klaim palsu semata dan mana pernyataan yang memberikan pendidikan politik dan informasi yang dapat dipercaya. Daripada menyampaikan sekian banyak program kebijakan yang beragam, tayangan iklan politik di televisi yang biasanya berdurasi singkat, seyogianya dimanfaatkan untuk menyampaikan satu buah program kebijakan saja.

Banyak Informasi yang Relevan dan Penting Disembunyikan
Sejauh mana sumber harus mengungkapkan informasi kepada khalayak? Hal ini akan berkaitan dengan [1] pengungkapan sumber komunikasi, [2] pemberian informasi yang memadai dan lengkap, [3] ambiguitas dan inkonsistensi dari pesan-pesan politik.

Kemampuan menentukan sumber otentik suatu pesan komunikasi adalah aspek penting dalam mengevaluasi nilai dan objektivitas suatu informasi. Menyembunyikan sumber suatu informasi dalam iklan politik, biasanya dijadikan teknik untuk menyerang kandidat lawan tanpa keharusan bertanggung jawab atas serangan yang telah dilakukan.

Problema etis selanjutnya adalah penilaian tentang apakah seorang komunikator harus menyampaikan informasi yang komplet atau bahkan informasi yang tidak menguntungkan tentang posisinya atau posisi pesaingnya. Sebagai contoh, kandidat menyatakan setuju terhadap aborsi namun gagal menyebutkan syarat-syarat bahwa dia menyetujui aborsi hanya dalam kasus perkosaan, perzinahan dengan keluarga sendiri atau membahayakan jiwa sang ibu. Contoh lain, misalnya seorang kandidat mengeluarkan informasi keuangan [partai atau pribadi] untuk memenuhi aturan yang berlaku, namun tidak menyertakan rincian dari mana sumber-sumber pendapatan tersebut.

Akhirnya, banyak komunikator mengambil manfaat dari pesan-pesan yang disampaikan secara samar [vague] atau bersifat mendua [ambiguity]. Di mana mereka membiarkan khalayak secara bebas “mendengar apa yang ingin mereka dengar” dan komunikator bebas mengklaim bahwa telah terjadi salah pengertian atau salah penafsiran jika kemudian mereka dikonfrontir. Pernyataan ambigu yang disengaja biasanya dinilai tidak etis dalam situasi di mana penyampaian informasi secara akurat menjadi suatu tujuan.

Dapat Terjadi Manipulasi Teknologis
Keprihatinan terhadap penggunaan teknologi untuk menciptakan tampilan palsu atau menyesatkan telah menjadi problem etis bagi iklan politik di media massa. Di media cetak, foto-foto diambil dari berbagai sisi, dipotong dengan berbagai cara, atau dihasilkan dari pemalsuan yang disengaja dalam upaya menciptakan tampilan palsu kepada pemilih.

Sedang di media televisi, tipuan teknologi digunakan dalam teknik penyuntingan, efek-efek khusus, dramatisasi visual dan teknik pengubahan dengan komputer. Dengan tipuan teknologi, citra visual seorang kandidat dapat diubah. Teknik-teknik ini menghalangi pemilih untuk membuat keputusan memilih secara rasional. Ketiga teknologi televisi di atas [editing, special effects, dramatization] dipandang sebagai teknik yang secara etika bergantung kepada sifat penggunaannya, niat dari pelakunya, dan tingkat misperception serta kerugian yang ditimbulkannya.

Seberapa besar problema distorsi teknologi dalam iklan politik? Di Amerika Serikat, sebanyak 15 persen iklan politik sejak 1952 hingga 1992 mengandung beberapa tipe distorsi teknologi yang dapat dicurigai bermasalah secara etis. Lalu, 42 persen dari iklan kampanye presiden dan 43 persen pada kampanye 1996 berisi distorsi seperti itu. Distorsi terutama terjadi dalam iklan-iklan negatif. Penelitian menunjukkan bahwa distorsi seperti itu akan memperkuat citra kandidat yang mensponsori iklan semacam itu dan meningkatkan peluang bahwa para pemilih akan memilihnya dan merugikan pihak lawan yang citranya tercoreng akibat iklan negatif tersebut.

Dapat Muncul Iklan Negatif
Tak ada definisi tentang iklan negatif yang diterima secara universal, namun sebagian pihak setuju bahwa iklan negatif pada dasarnya berfokus pada persaingan, bukan berfokus pada kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, bukan pada isu atau pada sikap politik/kebijakan.

Bagaimana pun, jika tujuan kampanye adalah untuk membentuk pemilih yang berpengetahuan, maka kampanye harus berlandaskan kebenaran. Sebagian besar konsultan politik mungkin benar ketika mereka memandang iklan negatif sebagai format sah bagi informasi yang ditujukan kepada pemilih, suatu cara pemberian informasi kepada publik tentang posisi atau karakter dari pesaing. Konsultan sering menamakan iklan seperti ini sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.

Banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambilan keputusan. Iklan seperti itu juga lebih efektif, iklan negatif yang berfokus pada isu-isu akan lebih efektif daripada yang berfokus pada serangan terhadap individu [citra]. Oleh karena itu, apa salahnya jika kita menyajikan kepada pemilih suatu informasi yang berguna. Iklan politik, apakah bersifat positif atau negatif, mungkin benar dan mungkin pula salah, etis atau tidak etis, akan dinilai berdasarkan quality of argument dan bukan berdasarkan mode of the argumentation.” Argumen lain yang menonjol dalam menyikapi serangan iklan negatif adalah keprihatinan bahwa pemilih tidak mengetahui siapa yang sebetulnya mensponsori suatu iklan negatif dan oleh karena itu tidak juga tahu siapa yang harus disalahkan jika mereka tidak menyukai sentimen atau gaya iklan tersebut.

Akhirnya, dalam kaitan dengan iklan negatif, terdapat suatu keluhan bahwa kampanye negatif dan iklan negatif menurunkan tingkat kehadiran pemilih di TPS. Alasannya adalah, ketika khalayak tidak menyukai suatu kampanye negatif, maka mereka akan tidak acuh terhadap proses pemilihan, lalu mereka memilih untuk tidak memberikan suaranya sama sekali.

Terdapat beberapa bukti empiris yang mendukung hal ini. Penelitian menunjukkan bahwa iklan negatif akan mengurangi tingkat kehadiran pemilih kendati persentasenya kecil. Juga terdapat fakta bahwa eksposur terhadap iklan politik [negatif atau positif] tampaknya akan meningkatkan tingkat sinisme pemilih dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Namun terdapat sisi lain atas kontroversi ini, ada kemungkinan bahwa kampanye negatif merangsang ketertarikan pemilih terhadap kampanye dan justru akan meningkatkan tingkat kehadiran pemilih.

Dalam pemilu 1999, tidak ada kandidat yang mendapat serangan iklan dan kampanye negatif paling banyak kecuali Megawati Soekarnoputri. Ia digambarkan sebagai sosok yang hanya mengandalkan karisma bapaknya, Bung Karno. Ia juga dianggap tidak memiliki kecerdasan untuk menjadi presiden karena faktanya ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan sarjananya serta ia juga berkarakter pendiam dan sulit diwawancarai. Partainya, PDIP, dianggap terlalu banyak mengakomodasi caleg yang berlatar belakang non-muslim. Ia juga diserang oleh muslim fanatik yang menganggap perempuan tidak layak menjadi kepala negara.

Ketika akhirnya PDIP keluar sebagai partai pemenang pemilu 1999, ia pun tidak bisa menjadi presiden karena dihadang oleh poros tengah yang dipimpin Amien Rais sebagai Ketua MPR hasil pemilu 1999. Abdurahman Wahid lah yang seolah mendapat wangsit dari langit justru menjadi Presiden RI. Fakta-fakta ini menjadi pembuktian bahwa sekalipun jelas tidak etis, kampanye negatif yang berbasiskan fakta dan isu sangat signifikan dalam membentuk opini publik terhadap isu tertentu. Publik yang telah meyakini kebenaran isu yang diangkat dalam sebuah kampanye negatif akan memberikan suaranya berdasarkan isu tersebut.

Disinilah letak ironisnya suatu iklan dan kampanye negatif. Sekalipun ia berkonotasi tidak etis, namun pada kenyataannya, iklan negatif yang berfokus pada isu dan berlandaskan pada fakta-fakta justru memberi publik informasi tentang sisi negatif seorang kandidat atau partai. Semakin iklan atau kampanye politik yang bersifat negatif itu berlandaskan fakta-fakta yang dapat diverifikasi kebenarannya, maka semakin ampuh ia dalam mendiskreditkan kandidat atau partai tertentu.

Saran Pencegahan dan Sanksi Hukuman
Untuk menjamin bahwa semua proses kampanye dan iklan politik di semua media massa, memenuhi moralitas dan etika komunikasi politik, beberapa saran perbaikan yang perlu dilakukan tanpa membahayakan hak atas kebebasan berpendapat di Indonesia, adalah sbb:

 Perlu dibentuk Undang-Undang Tentang Larangan Melakukan Praktik Kampanye yang Tidak Etis, sehingga kandidat dan partai politik akan memiliki cara legal yang jelas untuk pemulihan nama baiknya. Aturan itu harus mencakup hukuman berat bagi pelanggarnya dan mengizinkan penghentian tayang iklan yang tidak etis. Selain itu, perlu pula dibentuk pengadilan khusus selama periode kampanye dengan prosedur ringkas dan cepat sehingga kandidat dapat berperkara dengan cepat pula.

 Semua bentuk kampanye dan iklan politik harus mengindahkan moralitas dan etika komunikasi politik. Oleh karena itu, semua materi kampanye dan iklan politik yang akan ditayangkan dan diterbitkan di media massa harus bebas dari semua bentuk praktik kampanye dan iklan yang tidak etis. Dewan Redaksi media massa harus menggunakan semua kecakapan dan pengetahuannya serta selalu merujuk kepada Undang-Undang dalam memastikan materi kampanye dan iklan politik yang akan diterbitkan tidak bermasalah secara etis.

 Mendekati akhir acara kampanye di media penyiaran, perlu disediakan waktu 5 atau 10 menit yang memberi kesempatan bagi kandidat untuk berkomunikasi dengan pemilih dalam rangka affirmasi, menyanggah, atau melakukan pembelaan diri. Cara ini dimasukkan sebagai acara sisipan yang akan memperkuat kesempatan pemilih mendapatkan informasi dan menjamin tanggapan dari kandidat yang diserang oleh iklan negatif untuk membela diri.

 Sebuah Komisi Kampanye Nasional perlu dibentuk untuk mendengarkan keluhan tentang pelanggaran etik dalam kampanye. Komisi ini bertugas menyebarkan kode etik dalam kampanye dan mendengarkan keluhan tentang pelanggaran etik. Kode etik tersebut mencakup larangan terhadap klaim iklan yang tidak benar, bukti-bukti atas klaim yang tidak memadai, pemutarbalikan, himbauan yang tidak masuk akal dan emosional, dukungan yang tidak benar, dan semua bentuk pelanggaran kampanye yang tidak etis lainnya. Dengan dukungan media untuk mempublikasikan pelanggaran tersebut diyakini akan menjadi daya tangkal yang ampuh. Selain itu, komisi tersebut dapat memberikan beberapa pemulihan legal berupa: denda dan hukuman, anggaran untuk publikasi atas pelanggaran, serta kewenangan untuk melakukan iklan perbaikan, dll.

Bacaan: “Political Communication Ethics: An Oxymoron?” Edited by Robert E. Denton, Jr, NewYork: Praeger Publisher, 1991, p.147-177.

Diposting sebagai persyaratan untuk memenuhi sebagian persyaratan mata kuliah ‘Etika Komunikasi Politik’ pada Program Pasca Sarjana FISIP Jurusan Komunikasi Politik, Universitas Indonesia, semester genap tahun 2008, asuhan Prof.DR. Alois A. Nugroho.
Disusun oleh Topan R. Hasanuddin NPM : 0706185761

Evolusi Sumber Daya Manusia


Teori Darwin terkenal dengan teori evolusi manusia, ternyata dalam pengelolaan SDM juga terjadi evolusi pendekatan hubungan majikan dan pekerja. Seiring dengan tuntutan jaman dan perubahan maka pendekatan SDM mengalami evolusi sebagai berikut :

1.Pendekatan Budak
Majikan merasa memiliki hak sepenuhnya terhadap pekerja (diibaratkan sebagai budak). Jaman dahulu kala proses memperoleh budak dengan cara dibeli, dengan dibelinya budak maka budak dapat diperlakukan apa saja oleh majikan sehingga hak budak telah diambil alih oleh majikan. Pendekatan budak menuntut budak mengabdikan seluruh kehidupannya untuk kepentingan majikan, kehidupan budak akan terkungkung sampai dengan majikan menjual kepada pihak lain, sudah tidak menginginkannya lagi atau membebaskannya.

2.Pendekatan buruh
Pendekatan buruh masih dapat kita lihat dan kita rasakan dimana Majikan selaku pemberi upah hanya memerlukan buruh jika diperlukan misalnya pada jam tertentu yang diinginkan namun setelah buruh sudah tidak diperlukan lagi maka buruh akan terbebas dari tuntutan pekerjaan. Contohnya adalah tukang, atau buruh pabrik yang bekerja pada jam tertentu maka dituntut oleh majikan untuk bekerja dengan baik namun setelah usai jam kerja maka buruh sudah bebas dari tuntutan majikan.

3.Pendekatan Karyawan
Pendekatan karyawan merupakan hubungan industrial dengan menggunakan pendekatan hukum, dimana karyawan telah diberikan hak-hak seperti tunjangan-tunjangan, cuti, dll. Dalam pendekatan karyawan ini memposisikan karyawan yang memiliki hak dan kewajiban diatur dalam suatu hukum dan hubungan industrial yang lebih baik.

4.Pendekatan personel
Pendekatan personel telah berorientasi pada organisasi dimana pekerja telah dimasukkan dalam organisasi sehingga pekerja dapat mengatur dan menentukan arah dari organisasi. Pekerja telah bertangungjawab dan menentukan maju mundurnya organisasi. Kemudian pertanyaannya dimanakah letak majikan ? (dalam pendekatan personel majikan bertindak sebagai pemegang saham)
Pendekatan personel mengedepankan fungsi generic pekerja dalam organisasi atau pekerja sebagai personel yang menjadi alat (tools) atau bagian dalam organisasi.

5.Pendekatan SDM
Pada pendekatan SDM memposisikan pekerja bukan sebagai fungsi generic dalam organisasi namun lebih lebih tepat diistilahkan sebagai ‘More Than That’ yaitu pekerja sudah lebih dari sekedar fungsi generic. Pekerja sudah merupakan sumber daya akan jauh dapat mengembangkan organisasi
Karena menganggap sebagai fungsi non generic maka SDM dipandang sebagai Human Invesment (manusia sebagai investasi organisasi). Meng-hire atau menghiring seseorang dapat diartikan sebagai investasi organisasi masa depan.

6.Pendekatan Human Capital
Pada pendekatan Human Capital (HC) fungsi majikan sudah tidak ada lagi karena pekerja sudah sebagai professional dan bernilai tinggi, sehingga sebagai seorang yang professional maka tidak akan kesulitan memperoleh lapangan kerja. Contohnya adalah pemain sepakbola international, pemain sepakbola yang memenuhi standar international akan dapat mudah berpindah-pindah klub dengan nilai kontrak dan transfer yang tinggi karena sang pemilik klub mengharapkan mendapatkan keuntungan yang jauh dari pada dinilai kontrak dan nilai transfer.