Sang pembentuk dan pembaharu budaya

Kepemimpinan dan budaya organisasi sudah tentu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pemimpin adalah pembawa standar, personifikasi, dan wujud budaya organisasi. Mereka memainkan peran kunci dalam menanamkan keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi yang dimiliki ke dalam organisasi melalui sikap, tingkah laku, perkataan dan keputusan yang diambil bagi kepentingan organisasi.

Pemimpin memanfaatkan setiap sarana yang tersedia untuk memengaruhi budaya organisasi. Sistem penghargaan, penugasan manajer baru, komposisi dewan direksi, hubungan pelaporan (reporting relationship), dan struktur organisasi, disamping merupakan elemen yang fundamental untuk mewujudkan visi dan strategi, juga merupakan 'pengungkit' kunci bagi pemimpin untuk membentuk budaya organisasi.

Hal ini sangat terasa dan terlihat jelas pada pemimpin yang telah berada dalam organisasi mereka untuk waktu yang lama, sehingga asosiasi mereka dengan organisasi telah tertanam dengan kuat. Mereka terus memperkuat budaya yang ada sekarang, yang merupakan sumber kekuatan, guna mempertahankan kesuksesan yang diraih.

Peran pemimpin organisasi sebagai pembentuk budaya organisasi bukan hanya penting pada masa awal berdiri perusahaan, namun juga penting pada saat budaya organisasi yang ada perlu diperbarui. Pembaruan budaya organisasi dilakukan jika budaya yang ada sudah tidak relevan.

Hal ini sering dialami perusahaan yang telah memasuki tahap kedewasaan dan menuju penurunan, yang ditandai dengan melambatnya pertumbuhan penjualan, arus kas yang stabil, serta struktur, sistem informasi, dan sistem penghargaan organisasi sudah mapan.

Dalam hal ini, pemimpin dapat memanfaatkan sejumlah mekanisme serta mendorong kekuatan untuk kepentingan pengembangan budaya. Schein mengemukakan beberapa diantaranya.

Pertama, mempromosikan orang-orang yang berasal dari subkultur tertentu yang mencerminkan arah perubahan yang dikehendaki. Perusahaan yang mapan biasanya memiliki beberapa subkultur yang berkembang, selain memiliki budaya inti mereka.

Subkultur ini muncul akibat terbagi-baginya operasi perusahaan yang didasarkan pada produk, pasar, teknologi, letak geografis, dan divisi fungsional.

Kedua, perubahan budaya melalui pemanfaatan teknologi. Ini melibatkan pengenalan teknologi spesifik yang sengaja dan terencana guna mendorong tumbuhnya perilaku baru anggota organisasi, yang pada gilirannya akan mengharuskan karyawan untuk melakukan pengujian kembali terhadap asumsi yang mereka miliki sekarang dan kemungkinan mengadopsi keyakinan, nilai, dan asumsi yang baru.

Ketiga, melakukan perubahan budaya dengan merekrut pemimpin atau manajer dari luar organisasi. Asumsi bersama dapat diubah melalui perubahan komposisi kelompok yang dominan atau koalisi dalam organisasi. Misalnya, dengan menunjuk manajer baru dari luar organisasi.

Manajer yang baru biasanya membawa orang kepercayaannya dan menyingkirkan orang yang dianggap mewakili cara lama yang tidak efisien dalam mengerjakan suatu hal.

Sebagai akibatnya, hal ini akan menghancurkan kelompok atau subkultur hirarkis yang merupakan peletak dasar-dasar budaya secara keseluruhan dan akan menandai dimulainya pembentukan budaya baru. Jika terdapat subkultur fungsional, divisional, dan geografis yang kuat, pemimpin organisasi yang baru juga harus mengganti pemimpin unit ini juga.

Modal pemimpin

Tentu saja agar mekanisme serta kekuatan pendorong perubahan budaya ini dapat berfungsi secara optimal, seorang pemimpin perlu mengimbanginya dengan sikap dan perilaku yang tepat serta keyakinan yang kuat.

Want mengemukakan beberapa sikap dan keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang dapat memberikan manfaat bagi keefektifan budaya organisasi, baik pada saat menumbuhkembangkannya maupun pada saat memperbarui budaya tersebut, dan juga bermanfaat bagi kinerja bisnis secara keseluruhan.

Sikap dan keyakinan ini diantaranya adalah mengambil posisi sebagai murid dari budaya organisasi (become a student of the culture), pembaruan (renewal), komunikasi, keinklusifan (inclusiveness), kepercayaan, dan akuntabilitas.

Budaya organisasi adalah hasil dari berbagai kekuatan yang berasal dari perilaku, komitmen, nilai, praktek bisnis, kebijakan, misi, sejarah, dan kondisi industri. Kekuatan ini harus dievaluasi secara berkala.

Pemimpin harus menjamin keterbukaan komunikasi bagi seluruh anggota organisasi. Ketertutupan dan kerahasiaan hanya akan mengganggu proses pengembangan budaya organisasi. Jika karyawan merasa tidak dilibatkan, akan timbul ketidaksukaan dan resistensi.

Komunikasi yang terbuka juga memungkinkan dilakukannya pertukaran gagasan dan sumber daya, serta dapat memberikan inspirasi bagi seluruh karyawan. Pemimpin juga harus memastikan bahwa pengembangan budaya bersifat inklusif, dalam arti proses pengembangan budaya organisasi harus melibatkan seluruh anggota organisasi yang ada. Hal ini akan mendorong partisipasi semua karyawan yang ada.

Rasa saling percaya (trust) diantara para anggota harus pula mendapatkan perhatian pemimpin. Para anggota organisasi harus merasa aman dalam mengemukakan pendapatnya. Perbedaan yang muncul dalam usaha pengembangan budaya harus dapat dikelola dengan baik.
Seluruh usaha yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam pengembangan budaya organisasi haruslah disertai alasan dan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan serta semata-mata bertujuan bagi kemajuan organisasi.

Pemimpin memainkan peran yang penting dalam budaya organisasi dalam setiap tahapan dan perkembangannya. Namun, tugas pemimpin sebagai pembentuk dan pembaru budaya organisasi dalam setiap tahapan dan perkembangannya tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu menanamkan keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi yang dimiliki ke dalam organisasi sesuai dengan dinamika lingkungan yang mengelilinginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar